[ad_1]
JAKARTA – Beberapa mahasiswa yang mengaku menjadi korban kasus dugaan perdagangan orang (TPPO) dengan modus magang di Jerman mulai angkat bicara.
Bayangkan Anda seorang mahasiswa yang baru tiba di sebuah negara di Eropa Barat untuk program magang. Di benak Anda terbayang untuk mendapat pengalaman baru sekaligus belajar.
Tiba-tiba saja pintu flat Anda diketuk jelang tengah malam oleh seseorang yang menyodorkan kontrak kerja dalam bahasa asing bukan bahasa Inggris yang Anda sendiri tidak fasih.
Anda diminta tanda tangan malam itu juga dan esoknya, pada pukul 04.00 pagi Anda harus bangun demi mengejar bus perusahaan untuk bekerja di pabrik.
Ingat, dalam konteks ini, Anda adalah anak muda yang diterima magang di luar negeri.
Nita (bukan nama sebenarnya), 22 tahun, salah satu mahasiswi perguruan tinggi di Jawa, menuturkan pengalamannya dikutip BBC News Indonesia pada Minggu (24/3/2024).
Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Pikirpediahanya dengan satu akun di
ORION, daftar sekarang dengan
klik disini
dan nantikan kejutan menarik lainnya
Dia adalah satu dari 1.047 mahasiswa korban kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus pengiriman program magang mahasiswa ke negara Jerman melalui program Ferienjob.
Ada 33 universitas di Indonesia yang tergabung dalam program yang disosialisasikan oleh PT CVGEN dan PT SHB.,
Pelamar kerja memindai kode untuk melamar pekerjaan sebuah acara pameran pekerjaan pada Kamis (29/02) di Jakarta.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko, mengatakan kasus TPPO berkedok program magang ini terungkap setelah empat mahasiswa yang tengah mengikuti Ferienjob mendatangi KBRI di Jerman.
Polri sudah menetapkan lima orang tersangka, yakni ER alias EW; A alias AE, SS, AJ dan MJ. Dua dari lima tersangka masih berada di Jerman. Sedangkan seluruh korban sudah berada di Indonesia – termasuk Nita.
“Kami para mahasiswa juga ingin speak up biar pelaku jera.”
‘Jalan-jalan di luar negeri’
Nita bertandang ke salah satu kota di Jerman pada awal Oktober 2023 untuk mengikuti program Ferienjob. Yang ada di benaknya, selain ikut program magang, dia juga bisa “jalan-jalan di luar negeri”.
“Waktu itu dipromosiin working and holiday [bekerja dan berlibur],” tuturnya kepada jurnalis Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Nita mengaku percaya kegiatan Ferienjob karena ada testimoni dari tahun-tahun sebelumnya.
Nita dan teman-temannya diminta membayar Rp150.000 untuk pendaftaran. Setelah itu mereka harus membayar lagi untuk biaya pembuatan paspor, izin kerja, dan keperluan visa.
Secara total, biaya awal yang harus dibayarkan Nita dan rekan-rekannya adalah 550 euro (sekitar Rp9,4 juta) termasuk untuk urusan ZAV (kantor bursa pekerjaan spesialis Jerman) dan biaya ketibaan di Jerman.
Sayangnya, begitu sampai di Jerman, Nita dan teman-temannya kecewa karena haknya sebagai mahasiswa tidak terpenuhi. Menurutnya, apa yang ia alami dan kerjakan di sana tidak sesuai dengan janji di awal.
Play video, “Mahasiswa Indonesia terjebak penipuan magang di Jerman: “Kami para mahasiswa juga ingin speak up biar pelaku jera.””, Durasi 3,10
Mahasiswa Indonesia terjebak penipuan magang di Jerman: “Kami para mahasiswa juga ingin speak up biar pelaku jera.”
Awalnya, Nita dan rekan-rekannya dijanjikan magang di Bandara Munich – tapi ternyata begitu sampai di Jerman, program magang di bandara itu tidak ada di daftar magang Ferienjob.
Mereka pun dipindahkan ke situs kerja lain – sebuah pabrik.
“Itu pun kami enggak langsung dikasih kerja. Kami harus menunggu dulu sekitar enam sampai tujuh hari,” ujarnya.
Nita bercerita beberapa rekannya diminta bekerja di konstruksi pekerjaan meski mereka perempuan dan sebagian lain magang di jasa ekspedisi dan harus mengangkat barang-barang sebesar 30 kilogram.
Hal serupa dialami Ambar (juga bukan nama sebenarnya), 21 tahun, mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Sumatra.
Ambar tiba di salah satu kota di Jerman pada 2 Oktober 2023 saat tengah malam dan langsung ‘ditodong’ dengan tanda tangan kontrak.
Kondisi baru sampai dan larut malam, membuat Ambar dan rekan-rekannya tidak bisa membaca kontrak dengan seksama.
Suasana Bandara Internasional Munich pada 5 Desember 2023. Kala itu musim dingin.
“[Selain itu] kontrak terkadang hanya tersedia dalam Bahasa Jerman, dan kami tidak diberikan waktu untuk menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia atau Inggris,” tuturnya.
Ambar mengatakan agensi menjanjikan dia dan teman-temannya “bekerja dan belajar” di Jerman – kenyataannya mereka mendapat pekerjaan yang memakan kekuatan fisik yang cukup berat.
“Jenis pekerjaannya pun sama sekali tidak linear dengan jurusan yang kami tempuh,” akunya.
Ambar mengatakan dirinya dan teman-temannya bekerja selama 10 jam tiap hari dan itu belum termasuk perjalanan mereka dari apartemen ke perusahaan yang memakan waktu dua jam bolak-balik.
“Jadi sehari kami bisa menghabiskan waktu 12 jam hanya untuk bekerja,” lanjutnya.
Pekerjaan fisik yang berat juga suhu musim dingin di Jerman membuat banyak dari teman-teman Ambar gampang sakit, tetapi beberapa dari mereka tidak diperbolehkan cuti saat sakit.
Apartemen – disebut wohnung – tempat Ambar tinggal selama di Jerman pun diisi oleh 20 orang yang dipatok dengan harga mahal dengan fasilitas yang tidak memadai.
Bagi Nita, pengalamannya di Jerman itu tidak sepadan dengan raihan akademiknya begitu kembali ke Indonesia.
Sesampainya di Indonesia, dia dan teman-temannya ternyata masih harus ikut ujian tengah semester (UTS) dan ujian akhir semester (UAS) susulan.
“Aku enggak lulus dua mata kuliah. Jadi harus mengulang,” ujarnya.
Padahal, pihak kampus sebelumnya meminta Nita dan rekan-rekannya untuk cukup fokus berkegiatan di Jerman dan masalah konversi nilai bisa dibicarakan nanti.
“Kami mahasiswa sudah lelah mau tuntut ini-itu,” ujarnya.
Ambar dan Nita sama-sama enggan menyebut nama universitas ataupun nama kota di Jerman tempat mereka tinggal dan magang.
Menurut Ambar, tempat kota dirinya dan rekan-rekan magang sangat spesifik sehingga membuatnya akan mudah dilacak.
Dana talangan
Salah satu yang menjadi persoalan para korban mahasiswa ini adalah soal dana talangan.
Menurut Nita, dana talangan mencapai Rp37 juta termasuk biaya awal dan tiket pulang-pergi. Dia mengatakan pemasukannya selama kerja di Jerman bahkan tidak bisa menutup biaya ini.
“Padahal sosialisasi dari pihak penyelenggara, gaji itu bisa menutup dana talangan. Saya pribadi dan teman-teman saya belum bayar [dana talangan] tapi pihak kampus menyuruh kami untuk segera membayar,” ujarnya.
Nita juga mengecek kabar dari rekan-rekannya di kampus lain – cerita mereka bervariasi.
“Aku enggak bakal nyebut kampus apa, tapi ada kampus yang bilang kalau mahasiswanya tidak membayar dana talang, mahasiswanya enggak boleh masuk kuliah.
“Tapi ada juga kampus yang menahan mahasiswanya untuk jangan membayar sebelum kasus ini selesai,” ujarnya.
Sementara Ambar belakangan mengetahui gaji bersih yang diterimanya yakni sekitar 600-700 euro (sekitar Rp11,9 juta) per bulan adalah jauh di bawah gaji kotornya yaitu 2.000 euro (sekitar Rp34,2 juta).
Ambar mengatakan uangnya akan habis jika harus membayar dana talangan yakni Rp24 juta.
“Saya pribadi masih simpan uangnya kalau-kalau nanti ditagih sama agen. Karena sampai saat ini pihak agensinya tidak kasih kejelasan info, bahkan ada yang tanya pun gak ada respon,” ujarnya.
Apa kata Kemdikbudristek?
Dihubungi terpisah, Pelaksana Harian (Plh) Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Anang Ristanto, menegaskan bahwa Ferienjob “tidak pernah menjadi bagian” dari Merdeka Belajar Kampus Merdeka atau MBKM.
“Kemendikbudristek mendukung penuh upaya penegakkan hukum yang dilakukan oleh Polri dan mengimbau agar kampus yang mahasiswanya terlibat program ferienjob agar selalu melindungi mahasiswa dari tekanan dan jeratan utang akibat program tersebut,” ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Lebih lanjut, Anang menjelaskan bahwa sejak bulan Oktober 2023, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi (Ditjen Diktiristek) sudah mengambil langka dengan mengeluarkan surat edaran No. 1032/E.E2/DT.00.05/2023 kepada seluruh perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, untuk menghentikan keikutsertaan pada program tersebut.
Hal ini dikarenakan banyak ditemukan pelanggaran terhadap hak-hak mahasiswa.
“Kami mengajak perguruan tinggi untuk berhati-hati dalam merancang program MBKM mandiri dan agar selalu memastikan kesesuaian program dengan Buku Panduan MBKM 2020,” tandasnya.
‘Memang TPPO itu iming-imingnya menggiurkan!’
Siti Badriyah, aktivis Migrant Care, menyebut apa yang terjadi di Jerman kemarin adalah “pola yang lama”.
“Itu kasus polanya sudah lama, ya. Kalau dulu-dulu itu kan ke Jepang. Kemudian setelah itu Taiwan,” ujar Siti kepada BBC News Indonesia.
“Iming-iming magang yang bisa dikonversi dengan sejumlah SKS. Menggiurkan memang, magang dapat duit tapi dihitung kuliah. Memang TPPO itu iming-imingnya menggiurkan.”
Pada 2017 silam Migrant Care menangani kasus TPPO serupa di Kendal, ketika siswa-siswa sebuah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) direkrut untuk bekerja di sebuah perusahaan Malaysia.
“Putusan hakim membebaskan pelaku karena katanya kasus pelaku perusahaan Malaysia,” ujarnya.
Siti pun mendorong para mahasiswa dan juga keluarga mereka untuk benar-benar mengecek kebenaran informasi dengan teliti dan menyelidiki dalam-dalam apabila ada program magang di luar negeri.
Terpisah, kriminolog Universitas Indonesia Ade Erlangga Masdiana yang juga pernah menjadi kepala biro humas Kemdikbud, meminta para mahasiswa untuk “harus kritis atas tawaran-tawaran magang dan praktek lapangan di luar negeri”.
“Seperti lembaga apa yang mengirim? Lembaga pengirim tersebut kredibel atau tidak?” ujarnya.