Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
FIlsafat

Plato vs Zaman Now: Apa Jadinya Kalau Dia Nongol di Timeline TikTok?

7
×

Plato vs Zaman Now: Apa Jadinya Kalau Dia Nongol di Timeline TikTok?

Sebarkan artikel ini
Example 468x60
Bayangkan sejenak: seorang filsuf Yunani kuno, dengan janggut lebat dan toga khasnya, tiba-tiba muncul di tengah hiruk pikuk linimasa TikTok. Bukan sebagai konten kreator yang joget-joget atau lip-sync lagu viral, melainkan sebagai sosok yang mencoba menjelaskan teori-teori kompleksnya kepada generasi Z yang akrab dengan challenge dan sound pendek. Absurd? Mungkin. Tapi justru di sinilah letak daya tarik dan relevansinya. Apa jadinya jika Plato, bapak idealisme dan pencetus Teori Bentuk, harus berhadapan dengan realitas digital yang serba instan dan seringkali dangkal ini? Mari kita selami.

 

Dunia Ide dan Dunia Konten: Sebuah Perbandingan Absurd?

Plato dikenal dengan Teori Bentuk (Theory of Forms) atau Teori Ide-nya. Inti dari teori ini adalah bahwa ada dua dunia: dunia yang kita persepsikan dengan indra kita (dunia fisik) dan dunia yang lebih
sempurna dan abadi yang hanya bisa diakses oleh akal budi (dunia Ide atau Bentuk). Dunia fisik yang kita tinggali ini hanyalah bayangan atau tiruan yang tidak sempurna dari dunia Ide yang sejati. Misalnya, semua kursi yang kita lihat di dunia ini adalah tiruan dari ‘Kursi Ideal’ yang sempurna di dunia Ide.
Sekarang, bayangkan Plato di TikTok. Dunia TikTok adalah representasi ekstrem dari dunia fisik yang ia kritik. Ini adalah dunia yang didominasi oleh visual, suara, dan sensasi instan. Kontennya seringkali bersifat sementara, cepat berlalu, dan berfokus pada penampilan. Bagaimana Plato akan memandang tren filter kecantikan yang mengubah wajah seseorang menjadi ‘ideal’ secara visual? Baginya, ini mungkin akan menjadi ironi terbesar. Filter tersebut menciptakan ‘bentuk’ kecantikan yang semu, tiruan dari tiruan, yang semakin menjauhkan kita dari esensi kecantikan sejati yang ada di dunia Ide.
Atau bagaimana dengan challenge viral? Seseorang melakukan sesuatu, lalu ribuan orang lain menirunya. Bagi Plato, ini bisa jadi contoh sempurna bagaimana manusia cenderung meniru bayangan daripada mencari esensi aslinya. Apakah ‘tarian viral’ itu adalah tiruan dari ‘Tarian Ideal’ yang sempurna? Tentu saja tidak. Ini lebih kepada fenomena massa yang didorong oleh popularitas sesaat, bukan pencarian kebenaran atau keindahan abadi.

Gua Plato di Era Digital: Echo Chamber dan Filter Bubble

Salah satu alegori paling terkenal dari Plato adalah Alegori Gua. Di dalamnya, sekelompok tahanan dirantai sejak lahir di dalam gua, hanya bisa melihat bayangan yang diproyeksikan di dinding gua oleh api di belakang mereka. Mereka mengira bayangan itu adalah realitas sejati. Ketika salah satu tahanan dibebaskan dan melihat dunia di luar gua, ia menyadari bahwa bayangan itu hanyalah ilusi. Namun, ketika ia kembali untuk menceritakan kebenaran kepada teman-temannya, mereka tidak percaya dan bahkan mungkin ingin membunuhnya.
Dalam konteks TikTok dan media sosial secara umum, Alegori Gua ini menemukan relevansi yang menakutkan. Linimasa TikTok kita, yang dipersonalisasi oleh algoritma, bisa menjadi ‘gua’ modern kita. Algoritma ini dirancang untuk menunjukkan kepada kita konten yang kita sukai, yang memperkuat pandangan dan keyakinan kita yang sudah ada. Ini menciptakan echo chamber (ruang gema) dan filter bubble (gelembung filter), di mana kita hanya terpapar pada informasi dan perspektif yang sesuai dengan preferensi kita. Kita melihat ‘bayangan’ yang diproyeksikan oleh algoritma, dan kita cenderung menganggapnya sebagai ‘realitas’ yang utuh dan tak terbantahkan.
Jika Plato muncul di TikTok, ia mungkin akan mencoba membebaskan kita dari ‘rantai’ algoritma ini. Ia akan mengajak kita untuk mempertanyakan sumber informasi kita, untuk mencari kebenaran di luar bayangan yang disajikan di layar. Ia akan mendorong kita untuk berpikir kritis, untuk tidak mudah percaya pada apa yang viral, dan untuk mencari pengetahuan yang lebih dalam dan universal. Namun, seperti tahanan di gua, apakah kita akan siap menerima kebenaran yang mungkin bertentangan dengan ‘realitas’ yang nyaman yang telah kita bangun di linimasa kita? Kemungkinan besar, banyak yang akan menolaknya, bahkan mungkin ‘membully’ Plato karena dianggap ‘tidak relevan’ atau ‘terlalu serius’.

Pendidikan dan Kebijaksanaan di Tengah Badai Informasi

Plato sangat percaya pada pentingnya pendidikan untuk mencapai kebijaksanaan dan kebajikan. Baginya, pendidikan bukanlah sekadar mengisi kepala dengan fakta, melainkan proses membimbing jiwa untuk berbalik dari bayangan menuju cahaya kebenaran. Ia mendirikan Akademi, yang dianggap sebagai institusi pendidikan tinggi pertama di dunia Barat, untuk tujuan ini.
Di TikTok, pendidikan seringkali datang dalam bentuk snackable content – video pendek yang menyajikan informasi dalam format yang mudah dicerna. Ada banyak akun ‘edukasi’ yang mencoba menjelaskan konsep-konsep kompleks dalam 60 detik. Meskipun ini bisa menjadi cara yang efektif untuk menarik perhatian dan menyebarkan informasi dasar, Plato mungkin akan mempertanyakan kedalaman dan kualitas pembelajaran yang terjadi. Apakah video 60 detik tentang fisika kuantum benar-benar bisa membimbing jiwa menuju pemahaman yang mendalam, atau hanya menciptakan ilusi pengetahuan?
Plato mungkin akan berargumen bahwa kebijaksanaan sejati tidak dapat ditemukan dalam scroll tanpa henti atau like yang tak berarti. Kebijaksanaan membutuhkan refleksi, diskusi mendalam, dan upaya intelektual yang berkelanjutan. Ia akan menantang kita untuk melampaui informasi permukaan dan mencari pemahaman yang lebih substansial. Ia akan mengingatkan kita bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membentuk karakter dan mengembangkan kebajikan, bukan hanya untuk menjadi ‘pintar’ dalam tren terbaru.

Etika dan Moralitas di Dunia Maya

Plato juga banyak membahas tentang etika dan moralitas, terutama dalam karyanya Republik, di mana ia menguraikan konsep negara ideal yang diperintah oleh ‘filsuf-raja’ yang bijaksana. Ia percaya bahwa keadilan adalah kebajikan tertinggi, baik bagi individu maupun negara.
Di TikTok, etika dan moralitas seringkali menjadi abu-abu. Fenomena cancel culture, cyberbullying, dan penyebaran informasi palsu (hoaks) adalah tantangan besar. Bagaimana Plato akan menanggapi cancel culture, di mana seseorang bisa ‘dihukum’ secara sosial karena kesalahan masa lalu atau pandangan yang tidak populer? Ia mungkin akan menekankan pentingnya keadilan yang sejati, yang tidak didasarkan pada emosi massa atau mob justice, melainkan pada prinsip-prinsip rasional dan universal.
Ia juga akan mengkritik budaya flexing atau pamer kekayaan dan gaya hidup mewah yang sering terlihat di TikTok. Bagi Plato, kekayaan materi dan kesenangan indrawi adalah hal-hal yang fana dan tidak membawa kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati, menurutnya, ditemukan dalam kebajikan dan harmoni jiwa. Ia akan mendorong kita untuk mencari ‘kekayaan’ batin, yaitu kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan, dan keadilan, daripada mengejar validasi eksternal melalui like dan follower.

Kesimpulan: Relevansi Abadi Sang Filsuf

Meskipun Plato hidup ribuan tahun yang lalu, pemikirannya tetap relevan hingga kini. Kehadirannya di linimasa TikTok, meskipun hanya dalam imajinasi, memaksa kita untuk merenungkan kembali nilai-nilai yang kita anut di era digital ini. Ia akan menjadi suara yang menantang, yang mengajak kita untuk melihat melampaui permukaan, untuk mencari kebenaran di balik bayangan, dan untuk mengejar kebijaksanaan sejati di tengah badai informasi.
Plato mungkin tidak akan menjadi influencer TikTok yang populer. Video-videonya mungkin tidak akan viral. Tapi pesannya akan tetap bergema bagi mereka yang bersedia mendengarkan, bagi mereka yang berani keluar dari ‘gua’ digital mereka dan mencari cahaya kebenaran yang lebih terang. Ia akan mengingatkan kita bahwa di balik semua tren dan challenge yang cepat berlalu, ada pertanyaan-pertanyaan abadi tentang kebenaran, keindahan, dan kebaikan yang tetap relevan, bahkan di era TikTok sekalipun. Dan mungkin, hanya dengan merenungkan pertanyaan-pertanyaan ini, kita bisa menemukan makna sejati di tengah kebisingan digital.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *